Cari Blog

Artikel (12) Religi (3) Techno (3) Wisata (4)

Minggu, 27 Maret 2011

RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SEJARAH

والسماء رفعها ووضع الميزان. ألا تطغو في الميزان. وأقيموا الوزن بالقسط ولا تخسروا الميزان.

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
Al-rahman: 7-9.

Peranan uang yang sangat penting dalam sistem ekonomi manapun tak dapat terbantahkan lagi. Dengan uang orang akan dapat menguasahi total perekonomian suatu bangsa dan menjadikan dunia takluk kepadanya. Namun demikian, untuk memainkan peranan itu harus didasarkan pada ajaran apa yang dianut oleh sistem ekonomi tersebut, sehingga realisasi, dukungan serta penempatan pentingnya peranan uang dalam suatu sistem ekonomi itu benar-benar tercapai secara utuh. Berbicara tentang peranan uang yang dapat mengguncang dunia di atas,  akan menjadi lebih menarik jika dikaitkan dengan kandungan pokok bagaimana strategi pencapaiannya.
Dalam dunia ekonomi Islam, yang dasar pijakannya adalah ajaran Ilahi,  berupa syari’ah Islam terdapat aturan-aturan,  baik yang berkaitan  langsung dengan keuangan atau kegiatan ekonomi secara umum.  Islam mengakui otoritas delegitatif manusia terhadap harta yang dimilikinya secara legal.  Dari kata legal inilah muncul juga istilah illegal.  Pencapaian harta,  khususnya perolehan uang secara illegal telah dikecam oleh Islam.
Uang yang telah diperoleh dari rangkaian kegiatan ekonomi yang di dalamnya mengandung cara konsumsi yang tidak halal atau melanggar dan merampas hak serta kekayaan orang lain,  tidak peduli apapun bentuknya adalah termasuk illegal.  Kemudian yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana
uang itu dinyatakan illegal dalam strategi pencapaiannya sehingga tidak dibenarkan oleh Islam.
Dalam makalah ini akan dicoba mendiskripsikan tentang bagaimana uang sebagai harta kekayaan manusia yang telah dihasilkan itu dianggap haram dan dilarang oleh al-Qur’an dan al-Hadis serta penjelasan para ulama’ fiqh.


A. DEFINISI DAN MACAM RIBA
Dalam dunia ekonomi Islam terdapat norma yang mengatur tingkah laku dan tata cara kehidupan manusia,  baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial,  sehingga dapat hidup di dunia dan akhirat secara ideal.  Harta,  terfokus pada uang sangat diperhatikan oleh Allah,  hal ini terbukti dengan penyebutan istilah tersendiri sebagai alat perantara untuk mendapatkannya.  Salah satunya adalah jual beli dikenal dengan al-Bai‘, sebuah transaksi untuk mendapatkan uang yang dihalalkan.  Disamping itu Allah juga telah memberi peringatan atas transaksi yang dapat menghasilkan uang,  akan tetapi dilarang olehNya dengan kata istilah al-Riba. Untuk lebih jelas, paparan ini akan mengulas mulai dari apa dan bagaimana riba itu sehingga dilarang oleh Islam.



1.   DEFINISI RIBA
Riba secara etimologi bermakna bertambah dan berkembang.  Kata ini berasal dari bahasa Arab.  Allah berfirman dalam surah al-Haj ayat 5:
……وترى اللأرض هامدة فاذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت ……
Artinya: …… dan kamu lihat bumi ini kering,  kemudian apabila telah kami turunkan air diatasnya,  hiduplah bumi itu dan suburlah (bertambahlah)

Senada dengan makna di atas, al-Razi memberi arti pada turunan kata riba:

وأربى الرجل اذا عامل بالربا

Seseorang akan  bertambah hartanya jika dia melakukan transaksi yang mengandung riba.

Sedangkan menurut terminologi makna riba sangat variatif, namun mempunyai persamaan prinsip dalam makna. Al-Qasim berkata bahwa riba adalah sebuah ungkapan atas bertambahnya harta yang bukan menjadi pengganti dalam sebuah transaksi harta dengan harta sejenis.  Berbeda dengan al-Qasim,  Husain menyatakan bahwa riba secara umum dinyatakan sebagai perolehan harta yang lebih besar dari modal pokok harta yang dipinjamkan,  sedangkan lebih khusus, Husain menjelaskan bahwa riba adalah bertambahnya perolehan harta yang lebih besar dari modal pokok harta di saat melakukan transaksi harta dengan harta yang sejenis. Definisi riba yang sederhana telah disampaikan oleh Taqiyuddin,  perolehan harta dengan harta lain yang sejenis dengan saling melebihkan antara satu dengan yang lain.
Tiga definisi di atas dapat dilihat bahwa riba adalah sebuah transaksi untuk mendapatkan uang secara legal, Allah sangat mengecam tindakan orang yang melakukan riba. Hal ini, karena adanya indikasi terhadap adanya tindak kelaliman, penipuan, memakan harta yang bukan menjadi haknya, dan kejahatan dalam bermuamalah. Sejalan dengan pemahaman ini, Muhammad Syauqi memberi makna riba secara terminologi dengan ungkapan bahwa riba itu adalah sebuah kegiatan kelaliman,  penipuan dan semua kegiatan buruk,  yang baik secara norma dan etika tidak dibenarkan dalam dunia muamalah yang Islami. Disamping itu, Syauqi juga mengatakan bahwa modal pokok yang berupa harta
Tidak akan dapat melahirkan harta lain yang bertambah nilainya dengan sendiri tanpa diolah sedemikian rupa,  kecuali jika ada unsur kerjasama antara dua belah pihak untuk saling menanggung resiko yang akan terjadi.
Kata al-Riba yang berhadapan dan bertentangan makna dengan al-Bay‘ disampaikan oleh Allah dalam kitab sucinya yang berbunyi:

…… قالوا انما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا……  
Artinya: . . . mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,  padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba . . .

Dengan demikian,  dapat dinyatakan bahwa riba adalah kegiatan yang di dalamnya mengandung unsur penindasan, penipuan,  penghasilan yang tidak disertahi dengan bekerja, menekan kaum alit yang seharusnya lebih berhak untuk menerima harta tersebut,  dan semua itu terjadi dalam transaksi yang sengaja dilakukan untuk menambah harta dari modal pokok yang dipinjamkan atau dalam pertukaran harta satu dengan yang lain yang sejenis dengan cara dilebihkan.

2.   MACAM RIBA
Sebagaimana penjelasan makna riba di atas, terutama dari ayat-ayat al-Qur’an yang dipadukan dengan hadis dan pendapat para ahli fikih,  riba dapat digolongkan menjadi dua macam,  yaitu: proses riba yang ditemukan dalam kegiatan hutang piutang,  sering disebut dengan Riba al-Duyun, dan proses riba dalam kegiatan jual beli disebut dengan Riba al-Buyu‘. Kesepakatan ulama’ atas dua pembagian riba ini disampaikan oleh ibn Rusyd.

2.1. Riba al-Duyun
Macam riba ini dapat dikenali dengan istilah Riba Jahiliyah, Riba al-Qur’an atau Riba al-Jali. Riba al-Duyun ini terjadi jika debitur mensyaratkan kepada kreditur untuk memberi tambahan nilai dalam bentuk uang dari nilai modal pokok menjadi ….% sesuai keinginan debitur pada saat mengembalikan hutangnya,  baik syarat tambahan ini terjadi pada saat awal transaksi atau pada batas waktu penentuan pengembalian pertama jika kreditur tidak dapat melunasi,  sampai pada batas yang tidak terkira dengan jumlah tambahan harta yang selalu ditentukan oleh debitur. Riba macam ini dapat terjadi pula dalam transaksi salaf atau transaksi lain yang berbau dalam tanggungan.

2.2. Riba al-Buyu‘
Sama halnya dengan macam riba yang pertama,  Riba al-Buyu‘ mempunyai persamaan istilah yang lebih dari satu dengan makna yang tidak berbeda.  Riba ini disebut juga dengan Riba al-SunnahRiba al-Khafi atau Riba al-Fadl,  yang menjadi penting dan perlu dicatat adalah bahwa macam riba yang kedua ini hanya terfokus dalam proses jual beli.
Riba al-Buyu‘ ini menurut Abu Uwaymar  terbagi menjadi dua macam: Riba al-Fadl dikenal juga dengan riba penambahan, yaitu riba yang nampak ketika satu jenis dari enam macam jenis harta itu diperjual belikan dengan cara melebihkan,  misalnya: menjual satu dirham dengan dua dirham atau 1 kg. Buah kurma dengan 2 kg. Kurma yang lain. Kedua Riba al-Nasa’ atau riba karena pengunduran waktu, yaitu riba yang terjadi dalam proses jual beli, baik sejenis ataupun tidak, dengan mendahulukan penerimaan salah satu penggantinya, misalnya:  menjual satu sa‘ qamh yang diserahkan sekarang dengan ganti pembelian satu sa‘ qamh yang diserahkan satu bulan setelahnya,  atau menjual satu dinar emas yang diserahkan sekarang dengan ganti pembelian sepuluh dirham perak diserahkan dua bulan mendatang.
Seperti halnya Abu Uwaymar, ibn Rusyd menyatakan bahwa dalam jual beli dapat berlaku dua macam riba, nasi’ah dan fadli. Pernyataan ini telah disepakati para ulama’ kecuali ibn Abbas yang bersandar pada sebuah hadis tentang tidak berlakunya riba kecuali dalam riba nasi’ah.

B. RIBA DALAM PANDANGAN UMUM
Persoalan riba yang sangat pelik dan merisaukan tidak hanya berputar dalam masyarakat Islam, berbagai kalangan selain Islam juga memandang persoalan ini dengan serius.  Dua ribu tahun silam  sebelum lahirnya Islam,  masyarakat Yahudi,  Nasrani,  Yunani serta Romawi telah memahas persoalan riba,  mereka mempunyai pandangan tersendiri dalam masalah ini.  Karenanya,  kajian tentang riba ini akan bernilai lebih ketika dilengkapi dengan data sejarah riba yang memang telah diharamkan dalam perspektif non muslim.


1. BUNGA DALAM AGAMA YAHUDI
Yahudi merupakan agama samawi yang lahir jauh sebelum Islam. Golongan ini mengakui dan mempercayai nabi Musa as. sebagai pembawa risalah dengan kitab suci Taurat.  Di samping itu mereka juga mengimani Ibrahim as., Ishaq as., dan Isa as. sebagai utusan dan nabi Allah,  yang mana empat Nabi tersebut merupakan sebagian nabi yang harus diimani oleh orang Islam.  Umat Islam mengenal kaum Yahudi dalam kitab suci al-Qur’an dengan ahl al-kitab.
Namun sayangnya, saat ini tidak dapat ditemukan kitab Taurat yang asli dengan nama itu.  Kitab suci yang dikenal dalam agama Yahudi sekarang adalah Old Testament dan Undang-undang Talmud. Meskipun demikian dua kitab suci itu masih tetap mengandung norma agama yang tidak jauh dari norma Islam, khususnya yang berkaitan dengan pelarangan riba.  Orang-orang Yahudi dilarang melakukan paraktik pengambilan bunga.
Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku,  orang miskin diantaramu,  maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia:  janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”.
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu,  baik uang maupun bahan makanan,  atau apapun yang dapat dibungakan”.
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya,  melainkan engkau harus takut akan Allahmu,  supaya saudaramu bisa hidup di antaramu.  Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga,  juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba”.


2. BUNGA DALAM BANGSA YUNANI DAN ROMAWI
Yunani dan Romawi merupakan bangsa yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia, tidak ketinggalan Islam. Argumen yang mereka kemukakan  banyak mempengaruhi pola berfikir orang-orang Yahuni,  Nasrani ataupun Islam sehubungan dengan konsep riba.
Sekitar abad VI SM. hingga I M. pada masa Yunani,  telah terdapat beberapa jenis bunga. Bunga tersebut bervariasi tergantung pada kegunaannya. Sementara pada masa Romawi,  kira-kira abad V SM. hingga IV M. terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga dengan syarat,  selama tingkat suku bunga tersebut sesuai dengan maximum legal rate yang tidak sampai pada tingkat double countable.
Masa selanjutnya, pemerintahan Genucia (342 SM.),  kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi, pada masa Unciaria (88 SM.), praktik tersebut diperbolehkan kembali.  Meskipun demikian, para filosof Yunani dan Romawi mengecam tindak bunga, Plato (427-347 SM.) dan Aristotelles (384-322 SM.) dan Cirero (106-43 SM.).  alasan yang paling utama atas pelarangan tersebut adalah:  dengan bunga dapat menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat,  bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Karena bunga itu pada dasarnya hanyalah sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum pasti terjadi dan wujud adanya. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengambilan bunga secara tetap merupakan hal yang tidak adil.

3. BUNGA DALAM AGAMA KRISTEN
Sebagaimana bangsa Yahudi, Kaum Nasrani yang dianugrahkan kepada kaumnya kitab suci Injil dengan seorang nabi utusan Isa al-masih merupakan agama samawi. Pemikiran kaum ini tentang bunga, yang dituangkan dalam tulisan mereka telah banyak tersebar, dan tidak jarang jika pengaruhnya akan berdampak pada pemikiran generasi selanjutnya. Karenanya, sangat penting dan perlu mengkajinya lebih khusus.
Dalam kita sucinya sekarang, yang dikenal dengan kitab Perjanjian Baru pesoalan bunga tidak dipaparkan secara jelas pelarangannya, tetapi secara tersirat dapat dipahami sebagai larangan tindak bunga, misalnya:
Dan,  jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya,  apakah jasamu?  Orang-oorang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banayk.  Tetapi kamu,  kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan,  maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang Maha tinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.
Siratan ayat di atas menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para pemuka agama Kristen tentang boleh tidaknya tindak pengambilan bunga. Pandangan ini dapat dikelompokkan dalam tiga periode besar,  pertama,  para pendeta awal Kristen sekitar abad I-XII,  yang mengharamkan bunga,  kedua pandangan para sarjana Kristen abad XII-XVI,  mempunyai keinginan agar bunga diperbolehkan,  dan ketiga pandangan para reformis Kristen abad XVI tahun 1836,  yang telah menghalalkan bunga.
Meskipun pada akhir pandangan bunga itu halal, akan tetapi larangan praktik riba ini dikeluarkan oleh Gereja dalam bentuk undang-undang (canon) sebagai berikuy:
  • Council of Elvira (Spanyol th 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga.  Barang- siapa melanggar, pangkatnya akan diturunkan. 
  • Council of Arles (th 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga.
  • First Council of Nicaea (th 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga.
  • Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada masa Council of Vienne (th 1311) yang menyatakan bahwa barang siapa menganggap bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa,  ia telah keluar dari Kristen.

C. PERLAKUAN AL-QUR’AN DAN AL-HADIS TERHADAP RIBA
1.  KEHARAMAN RIBA DALAM AL-QUR’AN
Ayat al-Qur’an yang membahas langsung tentang riba,  hanya menyinggung riba yang berhubungan dengan pinjam-meminjam, sementara riba yang berhubungan dengan proses jual-beli dibahas secara rinci dalam hadis nabi Muhammad saw.
Sebagaimana tartib turunnya ayat tentang riba,  pertama satu ayat terdapat dalam surat al-rum, menyusul berikutnya dua ayat saling berkaitan dalam surat al-nisa’, kemudian dua ayat yang berhubungan juga terdapat dalam surat ali imran,  dan lima ayat dalam surat al-baqarah.
Dilihat dari periodisasi turunnya, ayat-ayat itu mempunyai masa yang berbeda. Sehingga dalam perspektif ini terlihat bahwa ada tahapan-tahapan pelarangan,  seperti yang terjadi dalam peristiwa minuman keras. Seperti halnya minuman keras yang telah diharamkan,  al-Qur’an tidak langsung menyatakan bahwa riba itu hukumnya haram, tetapi melalui proses tahapan dan berangsur sedikit demi sedikit.

Menurut para mufassir dan fuqaha’, ayat pertama tentang riba yang diturunkan adalah surat al-rum ayat 39.
وما ءاتيتم من ربا ليربوا في أموال الناس فلا يربوا عند الله ……

Dimana pada ayat ini terlihat bahwa al-Qur’an belum mengharamkan riba secara tegas, tetapi hanya memberikan penjelasan, bahwa Allah membenci orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan dan harapan untuk mendapat tambahan atau kelebihan,  yang praktek seperti ini telah membudaya dalam masyarakat Jahily. Dan ayat ini merupakan ayat Makkiyyah.

Tahapan kedua, adalah ayat yang diturunkan pada awal periode Madinah, yaitu surat al-nisa’ ayat 160-161,
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبت أحلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا. وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما.

Dua ayat ini juga tidak menyatakan secara tegas atas larangan untuk melakukan riba kepada ummat Islam, melainkan masih bersifat pemberitaan gambaran kejahatan orang-orang Yahudi yang telah memakan harta hasil dari riba, padahal Allah telah melarangnya. Inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi orang yang mau menegakkan kebaikan.

Tahapan ketiga adalah ayat 130-131 surat ali imran yang masih sama seperti ayat sebelumnya diturunkan di Madinah.  Dari ayat ini mulai terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba,
ياأيها الذين ءامنو لاتأكلوا الربا أضعفا مضعفة واتقوا الله لعلكم تفلحون.
واتقوا النار التي أعدت للكافرين.

Larangan dalam ayat ini masih terlihat bersifat parsial, belum secara menyeluruh.  Sebab pengharaman riba dalam ayat ini baru pada proses riba yang berlipat ganda dan sangat memberakan bagi kreditur, yang disejajarkan dengan keharaman orang mabuk melakukan shalat. Ayat ini mulai terdapat perbedaan pendapat, dimana kata ad‘afan muda‘afan ini hanya mengarah pada tindak riba masa Jahily, menurut al-Tabari.  Artinya riba yang berhukum haram hanyalah berlaku pada riba jahiliyah, bukan yang lain.
Berbeda dengan al Tabari,al-Jassas, ulama’ Hanafiah yang mengharamkan semua bentuk riba tanpa kecuali.  Al-Jassas membagi riba menjadi dua jenis: nasi’ah dan fadli,  dan mendefinisikannya sama dengan ulama’ yang lain.  Ia kemudian menyatakan,  sifat lipat ganda yang ada dalam ayat ini,  bukan berarti syarat keharaman riba dan sebaliknya membolehkan jenis lain.  Menurutnya, bahwa turunnya surat al-Baqarah ayat 275-279, maka hukum riba, dengan segala jenisnya menjadi haram.  Dengan kata lain ayat tersebut telah menasakh ayat riba yang ada dalam surat ali imran.  Karena itu, ketika membahas kata wa harrama al-riba dalam surah al-baqarah, al-Jassas kembali menegaskan bahwa dengan turunnya ayat ini semua bentuk riba diharamkan.
Sebagaimana al-Jassas, al-Qurthubi mengharamkan semua jenis riba. Adapun penyebutan adh‘afan mudha‘afah, menurutnya disamping memberitahu tentang prilaku orang Arab pra Islam, juga menunjukkan betapa kejinya perbuatan riba nasi’ah tersebut.

Sedangkan tahapan yang terakhir adalah surat al-Baqarah ayat 275-279.
الذين يأكلون الربا لايقومون الا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالو انما البيع مثل الربوا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فنتهى فله ما سلف وأمره الى الله ومن عاد فأولئك أصحب النار هم فيها خلدون. يمحق الله الربوا ويربى الصدقت والله لايحب كل كفار أثيم.

Dengan turunnya ayat ini khususnya ayat ke 278, menurut umumnya ulama’ menjadi dasar pengharaman riba dengan segala macam dan bentuknya,  baik sedikit maupun berlipat ganda.  Pengharaman di sini sama dengan pengharaman khamar yang pada akhirnya dilarang secara tegas dan jelas. Dengan turunnya ayat ini, penjelasan tentang riba dalam al-Qur’an telah selesai,  tinggal bagaimana memahami rangkaian ayat-ayat riba tersebut untuk kemudian ditentukan sebuah hukum yang dapat menjawab semua permasalahan tentang riba ini.
Proses riba, lepas dari pembagian secara definitif syar‘iyyah yang diformulasikan oleh ulama’ fiqh, dalam hal hutang piutang yang sering dikenal dengan riba nasi’ah berhukum haram secara mutlak,  keharaman ini terlihat dari tahapan turunnya ayat di atas.  Disamping juga mencakupnya hukum haram pada masing-masing ayat, dimana hukum haram ini awalnya bersifat parsial, dalam hal ini berlipat-lipat, namun pada akhirnya mengarah pada keseluruhan prilaku yang mengandung riba.

2.  KEHARAMAN RIBA DALAM AL-HADITH
Sebagaimana pernyataan ibn Qayyim atas peranan sunnah terhadap al-Qur’an yang ada tiga, Abu Zahrah mengklasifikasi sunnah Nabi yang berbicara tentang riba menjadi dua, pertama: sunnah yang berfungsi sebagai tafsiran pada ayat al-Qur’an yang membahas riba. Kedua, sunnah Nabi yang menggambarkan jenis lain.
Sunnah Nabi yang merupakan tafsiran terhadap firman Allah adalah sabda Nabi yang diriwayatkan oleh
 usamah:

عن أسامة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا ربا الا في النسيئة. رواه البخاري


Artinya:  Hadis dari usamah bahwasanya nabi Muhammad telah bersabda Riba itu hanya ada pada bentuk riba nasi’ah’.

Jika melihat pada satu hadis di atas, yang dengan jelas menyatakan tidak ada riba yang dilarang kecuali dalam proses riba nasi’ah, riba yang telah lama dikenal dalam praktek masyarakat Jahiliyah, maka semua jenis riba selain nasi’ah tidak diharamkan.  Akan tetapi anggapan ini akan dapat berubah, karena banyak hadis lain yang menggambarkan jenis riba yang belum dikenalkan oleh al-Qur’an.

عن عبد الرحمن بن أبى بكرة قال أبو بكرة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تبيعوا الذهب بالذهب الا سواء
بسواء والفضة بالفضة الا سواء بسواء وبيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم. رواه البخارى

Artinya: Hadis dari Abd-Rahman ibn Abi Bakrah dari ayahnya menyatakan, ‘Bahwa nabi Muhammad saw. telah melarang penjualan emas dengan emas,  perak dengan perak kecuali sebanding,  dan Nabi menyuruh kepada kita untuk menjual emas dengan perak terserah kita atau perak dengan emas terserah kita dengan kontan.
Atau hadis lain  menyatakan:

عن أبي سعيد الخدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الذهب بالذهب
والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد
فمن زاد أو استزاد فقد أربى الآخذ والمعطي فيه سواء

Nabi bersabda: emas dengan emas sebanding,  perak dengan perak sebanding,  gandum dengan gandum sebanding,  barang siapa yang menambah dan meminta tambahan,   maka sesungguhnya dia telah melakukan riba,  juallah gandum dengan korma terserah kepadamu dengan kontan dan juallah sha’ir dengan korma terserah kepadamu dengan kontan. Penerima dan pemberi  riba sama-sama berdosa. HR. Muslim.
Hadis senada dengan pengertian riba diatas masih banyak tersebar, terutama dalam kitab-kitab hadis yang berbicara tentang masalah jual beli, namun secara prinsip maknanya tidak jauh berbeda, yaitu adanya larangan tindakan riba. Bagaimanapun bentuk transaksi, baik dalam tanggungan hutang-piutang yang termasuk di dalamnya transaksi salaf, ataupun dalam jual beli yang mengandung unsur riba berhukum haram dan harus ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat Islam. Hal ini senada dengan ancaman Rasul yang tertuang dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam imam Muslim:

عن جابر قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه
وقال هم سواء. رواه مسلم.

Dimana dalam hadis tersebut Nabi telah mengutuk orang-orang yang makan harta hasil dari riba, pencatat riba dan juga orang yang menjadi saksi dalam proses terjadinya riba tersebut,  beliau menambahkan bahwa kedudukan mereka bertiga sama dalam hal dosa. Satu hadis lagi yang tidak jauh berbeda makannya adalah:

أخبرنى عون بن أبي جحييفة قال رأيت أبي اشترى حجاما فأمر بمحاجمه فكسرت فسألته عن ذلك قال ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الدم وثمن الكلب وكسب الامة ولعن الواشمة والمستوشمة واكل الربا وموكله ولعن المصور. رواه البخاري

ِArtinya: Dari ‘Aun ibn Abi Juhaifah, “ Ayahku telah membeli seorang budak yang pekerjaannya cantuk (mengeluarkan darah kotor dari kepala).  Ayahku kemudian memusnahkan peralatan cantuk si budak tersebut.  Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya?  Ayahku menjawab bahwa
Rasul saw. melarang  untuk menerima uang transaksi dari darah,
anjing,  dan kasab budak perempuan.  Beliau juga mengecam
pekerjaan penato dan yang minta ditato,  menerima dan
memberi riba serta melaknat para pembuat gambar.
HR. Bukhari.
Jika dikaji lebih jauh tentang proses pengharaman riba yang terjadi dalam dua macam bentuk transaksi ini terdapat hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi kehidupan bermasyarakat, khususnya riba yang terjadi dalam proses jual-beli. Pelajaran yang dapat diambil diantaranya adalah, pertama: apabila seseorang menjual satu sa‘ qamh dengan dua sa‘,  atau satu dengan dua dinar,  maka dia sesungguhnya telah mengambil tambahan dalam salah satu pergantian dua jenis barang tersebut yang tidak sepadan,  atau ketika transaksi itu dilakukan spontan maka posisi hutang itu mengandung manfaat karena penyerahan salah satu dari benda tersebut yang tertunda dan akan menjadi bertambah nilainya dikemudian hari,  disamping itu juga terkandung di dalamnya unsur dhalim pada salah satu pihak,  dengan memberikan yang jelek diganti dengan imbalan yang baik,  atau memberi pada masa,  dimana harga terjangkau dengan disyaratkannya mengembalikan pada saat paceklik.
Kedua, jika seseorang menjual barang yang tidak sejenis, seperti buah kurma dengan biji gandum yang tidak secara kontan, maka dia telah melakukan penipuan yang sangat keji,  karena bagaimanapun harga sekarang dengan waktu yang akan datang pasti ada perbedaan. Begitu pula jika menjual emas dengan perak yang ditempokan, maka tetap tidak akan dapat dipertemukan secara prinsip nilai dari dua barang tersebut, dan terjadi kerugian di salah satu pihak,  serta  eksploitasi akan merajalela di kalangan masayarakat kecil.

C. RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
Bunga sebagai instrumen riba telah membawa dampak negatif bagi kegiatan ekonomi. Pengaruh yang sangat kentara adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal ini disebabkan oleh salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Di samping itu, bahwa utang dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan,  terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan,  rentenir misalnya.  Akibatnya,  terjadilah utang yang terus-menerus,  dan hal ini yang akan menentukan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat dunia.


1st. PINJAMAN KONSUMTIF DAN PINJAMAN PRODUKTIF
Setelah berbicara panjang tentang bagaimana proses riba itu dapat terjadi dalam dua macam transaksi,  hutang-piutang dan jual-beli,  maka akan ada kaitannya antara proses riba yang terjadi dalam transaksi hutang-piutang itu dengan dua macam pinjaman yang akan dibahas dalam point ini, dengan menghadirkan pendapat ulama’ tentang hukum melakukan dua model pinjaman tersebut.
Pinjaman konsumtif yang dikenal juga dengan istilah kredit konsumen adalah sebuah pinjaman atau kredit yang diberikan kepada konsumen untuk keperluan pembelian barang-barang konsumsi atau kebutuhan pokok bagi setiap orang yang bersifat tidak produktif.  Sedangkan kebalikannya,  adalah pinjaman produktif,  dimana pinjaman yang diberikan kepada konsumen untuk keperluan membeli barang-barang yang bersifat produktif.
Memang, syarat kehidupan manusia sehari-hari  kian lama kian meningkat dan rumit. Sehingga pentingnya pinjaman konsumtif untuk kebutuhan pokok bagi tiap individu ini tidak berlebihan. Karena, pinjaman konsumtif yang sedikit banyak bersifat tidak produktif ini akan berpengaruh pada produktivitas manusia secara tidak langsung,  misalnya mendorong produksi dan suplai,  yang dapat mengakibatkan kemalasan dan rasa bergantung pada yang lain.  Adapun pinjaman produktif sebaliknya, akan berdampak kepada usaha yang positif dan menumbuhkan semangat untuk mendapatkan yang lebih berarti.
Manusia yang tergolong tidak berkecukupan secara ekonomi, dan cenderung kepada kemajuan terhadap dirinya akan dapat memilah dan memilih bagaimana dia dapat menyambung hidup dan juga mencukupi kehidupan keluarganya dengan tanpa membebaninya. Ajaran Islam menganjurkan kepada para pengikutnya untuk saling membantu kepada sesama dalam hal kebaikan.  Sebagaimana kita ketahui dengan dua model pinjaman,  konsumtif dan produktif adalah salah satu alternatif untuk saling tolong-menolong antara pemilik modal dengan yang tidak, agar terjadi keseimbangan dalam tataran kehidupan ekonomi.  Namun, bagaimana pandangan ulama’ tentang pinjaman konsumtif dan pinjaman produktif itu?.
Berdasarkan ayat Allah surat al-Baqarah ayat 279:

…… وان تبتم فلكم رءوس أموالكم لاتظلمون ولاتظلمون.

. . . Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),  maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Dan sebuah hadis Nabi yang bermakna: setiap pinjaman yang mengandung manfaat maka termasuk dalam kategori riba, para ulama’ memberikan argumentasi atas dua model pinjaman yang bayak dilakukan
 oleh masyarakat.
Al-Arabi tidak membedakan antara pinjaman konsumtif dan produktif.  Menurutnya, al-Qur’an sebagai petuntuk Ilahi yang paling akhir. Dimana di dalamnya, sebagaimana ayat dikutib menjelaskan tentang perlakuan riba yang telah dilarang dan dikuatkan dengan adanya hadis nabi yang juga menjelaskan kecaman riba dan macamnya itu. al-Arabi menganggap bahwa dua model pinjaman itu merupakan bentuk lain dari riba, sehingga menurutnya keduanya tidak diperbolehkan karena adanya unsur manfaat.
Berbeda dengan al-Arabi, Doktor al-Sanhury merasa tidak mudah untuk membedakan antara kedua pinjaman tersebut. Meskipun demikian, dia menyatakan bahwa hukum dari dua macam pinjaman ini berbeda, karena salah satunya mengandung unsur manfaat, yaitu pinjaman konsumtif, adapun pinjaman produktif diperbolehkan,  karena ia samakan dengan model investasi.  Al-Sanhury hanya menekankan pada adanya unsur manfaat dalam pinjaman tersebut, jadi jika kemudian dalam bentuk pinjaman yang lain, yang mengandung unsur manfaat hukumnya juga tidak diperbolehkan.
Lebih rinci lagi, Ahmad Fuad menolak atas disamakannya pinjaman konsumtif dengan pinjaman produktif.  Dia mengelompokkan manfaat yang terdapat dalam pinjaman konsumtif pada riba, sedangkan manfaat dalam pinjaman produktif kedalam transaksi syirkah.  Hal ini dia dasarkan pada proses riba yang terjadi dalam  tradisi masyarakat Jahiliyah, dimana riba nasi’ah yang berlaku saat itu memang berkaitan dengan kebutuhan pokok sehari-hari. Sehingga,  menurutnya pinjaman produktif sama dengan investasi yang memang seharusnya harus dilakukan oleh pemilik modal.
Imam al-Razi juga memberikan gambaran atas dua model pinjaman itu.  Dia juga sependapat kalau pinjaman konsumtif itu dilarang,  ini disebabkan karena didasarkan pada asal mula dilarangnya riba dari peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Jahiliyah,  bahwa seorang berhutang kepada orang lain,  lalu kreditur berkata: “akan saya tambah sekian jika kamu memberikan tempo kepadaku,  maka debitur memberikan tempo tersebut”. dengan demikian tidak diperbolehkannya pinjaman konsumtif ini karena adanya kandungan riba yang disebabkan oleh pengunduran waktu dan dianggap mengandung unsur penganiayaan serta penindasan.
Disamping pinjaman produktif yang memang dianggap sebagai kegiatan investasi dan dianjurkan sebagai bukti rasa tolong menolong antar sesama, Islam juga mengenalkan istilah al-qard al-hasan,  pijaman bebas bunga.  Dimana dengan pinjaman ini kreditur tidak akan merasa terbebani sedikitpun dan tidak ada unsur penindasan. Seorang kreditur dengan bebas menggunakan harta untuk kebutuhannya tanpa berfikir berapa dia harus membayar kelipatannya,  secara logika untuk memenuhi kebutuhan sekarang saja dia meminjam,  bagaimana dia dapat membayar kelipatan dari pinjaman itu kalau hasil dari usahanya hanya cukup untuk menutupi jumlah pinjaman dan untuk memenuhi kebutuhan sehari setelahnya.

2nd. EGOISME BUNGA DALAM TEORI NILAI UANG
Institusi bunga dapat saja merupakan sumer bahaya dan kehancuran. Bunga memberikan pengaruh pelajaran terhadap karakter manusia yang polos menjadi serakah. Karena bunga, dapat menimbulkan perasaan senang, cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin bagi kepentingannya sendiri, tanpa menghiraukan dan mengindahkan perintah,  peraturan dan peringata Allah SWT.
Bunga itu bersifat egois, dan dapat menciptakan manusia egois juga.  Keegoisan bunga tercipta ketika manusia telah mendapatkan semua kelipatan uang yang diperoleh dari sistim bunga,  dan tidak merasa bahwa semua itu hasil dari menindas dan mengeksploitasi pihak yang lain,  terutama orang yang tidak mempunyai dana.  Seseorang yang membungakan uang akan cenderung bersikap tidak mengenal belas kasihan,  bakhil,  berhati batu dan berwawasan sempit.
Jika melihat rumusan menurunnya nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini, maka manusia dianggap akan mengedepankan kepuasan untuk masa sekarang.  Alasan ini muncul karena adanya keyakinan bahwa keuntungan pasti masa kini jelas diutamakan daripada keuntungan pada masa yang akan datang, dengan anggapan bahwa modal yang dipinjamkan kepada seseorang pada saat sekarang lebih bernilai dibanding uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian.  Bunga dalam pandangan ini,  merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal pinjaman semula.
Dengan kata lain, bunga serupa dengan perbedaan psikologis barang-barang pada masa yang akan datang,  bukan perbedaan ekonomis. Tetapi paham ini tidak seratuss persen benar.  Kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang yang menahan keinginannya masa kini demi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masa depan,  padahal mereka tidak dapat menduga apa yang akan terjadi dikemudian. Inilah kemudian yang sering dinyatakan bahwa orientasi ekonomi Islam tidak lain adalah dunia dan akhirat.  Masa depan untuk menuju kebahagiaan akhirat sangatlah berarti.
Secara prinsip, Islam mengakui adanya waktu yang sangat berharga. Sesekali Islam sangatlah menghargai waktu, tapi tidak kemudian penghargaan itu diwujudkan dalam rupiah tertentu atau prosentasi bunga tetap. Hal ini dikarenakan hasil yang nyata dari optimalisasi waktu itu variabel, bergantung pada jenis usaha,  sektor industri,  lama usaha,  keadaan pasar, produk yang dijual atau yang lain,  termasuk juga siapa pengelolahnya. Oleh karena itu,  Islam merealisasikan penghargaan terhadap waktu dalam bentuk kemitraan,  nisbah bagi hasil yang semua pihak sharing the risk and profit secara bersama sangatlah dianjurkan.

3rd. MUNCULNYA BENIH KEBENCIAN DAN PERMUSUHAN
Harta benda yang dititipkan Allah kepada manusia, di samping dapat membawa keselamatan dan kemenangan dapat pula membawa ke jurang kehancuran yang menggelincirkan bagi pemiliknya.  Seorang muslim yang dianugrahi harta benda, diperintahkan agar mengeluarkan hartanya untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah, sebagaimana firmannya dalam surah al-baqarah ayat 195 yang berbunyi:

وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بايديكم الى التهلكة وأحسنوا ان الله يحب المحسنين.

ِArtinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah,  dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasahan,  dan berbuat baiklah,  karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia,  khususnya orang Islam harus membelanjakan harta yang dimilikinya  di jalan Allah untuk berbuat kebaikan,  menolong yang miskin,  mengeluarkan  haknya dan berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkannya berada dalam lindungan Allah. Jika dilihat kembali ayat ini, berkaitan dengan larangan riba,  maka dengan jelas dapat dinyatakan bahwa Allah tidak senang pada orang-orang yang melakukan riba dalam hal ini termasuk bunga.  Alasan dilarangnya bunga tidak lain adalah merusak moral manusia.
Di samping ayat tersebut, Allah juga memberi peringatan kepada ummatnya dengan satu ayat yang berbicara tentang pemberian waktu dan maaf atas orang yang benar-benar sedang jatuh usahanya,  tidak malah melipat gandakan nilai hutangnya dengan beban bunga.  Surah al-baqarah ayat 280:

وان كان ذو عسرة فنظرة الى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم ان كنتم تعلمون.

Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,  maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.  Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,  lebih baik bagimu,  jika kamu mengetahui.
Hati nurani merupakan cerminan jiwa yang paling murni dan utuh.  Ketulusan seseorang akan runtuh bila egoisme pembungahan uang sudah merasuk di dalam jiwa tersebut. Dia mengambil tidak hanya dari peminjam yang lalai saja,  melainkan juga si miskin yang sedang jatuh pailit. Dengan sangat tega dia merampas apa saja yang dimiliki si peminjam untuk mengembalikan bayaran bunga yang mungkin sudah berlipat-lipat dari pokok pinjaman. نعوذ بالله من ذلك
Sebagaimana paparan yang lalu atas egoisme bunga, seluruh rangakaian transaksi yang melibatkan bunga sama halnya dengan merampas harta orang lain.  Dalam hal ini imam al-Razi memberikan empat argumen atas dilarangnya bunga karena: 1. Dengan tindak bunga orang itu telah merampas hak kekayaan orang lain. 2.  Dengan bunga moralitas orang dapat rusak . 3. Dengan bunga dapat melahirkan benih kebencian dan permusuhan, dan 4.  Munculnya kelompok yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Dengan demikian, secara umum dalam percaturan ekonomi, bila egoisme dan perampasan harta si peminjam dalam keadaan apapun  sudah dihalalkan,  maka tidak mustahil akan timbul kebencian dan permusuhan antara si kaya dan si miskin.  Dan pada saat resesi ekonomi dan kebijakan uang ketat,  maka dalam hal ini si kaya akan memperoleh suku bunga yang sangat tinggi,  sementara itu,  karena biaya modal menjadi sangat mahal,  si miskin tidak mampu meminjam dan tidak dapat berusaha.  Sebagai akibat akhir, dia akan semakin jauh ketinggalan di belakang si kaya.

SIMPULAN

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa uang sebagai nafas kehidupan manusia di dunia ini harus didapatkan melalui proses yang benar dan sah.  Dalam dunia Islam telah dikenalkan sistem untuk dapat memperoleh uang dengan istilah al-bai‘, lebih dikenal dengan jual beli dan al-riba, dengan jual beli orang akan mendapatkan uang secara sah dan dibenarkan dalam Islam.  Sedangkan riba dengan berbagai macam bentuknya telah dilarang oleh Islam,  meskipun juga dapat mendatangkan uang.

Pemilik modal dianjurkan memberi pinjaman kepada orang yang berstatus di bawah garis kemiskinan sebagai modal untuk usaha memperbaiki kehidupannya dengan tanpa ada unsur tambahan atau manfaat yang kembali kepada pihak pemilik modal. Dengan kata lain memberi pinjaman yang jauh dari adanya unsur riba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar